Kisah Si Raja Minyak Sawit


Profil Sukanto Tanoto CEO Raja Garuda Mas memulai dari bawah

Lahir di Belawan, Sumatra Utara, 25 Desember 1949, Sukanto Tanoto yang memiliki nama asli Tan Kang Hoo merupakan pengusaha besar Indonesia. Ia adalah CEO PT. Garuda Mas Indonesia, perusahaan yang bergerak dibidang minyak sawit, plup, dan kertas. 


Sejak kecil, Sukanto senang membaca buku apapun, termasuk buku tentang revolusi Amerika. Dari buku, ia bermimpi menjadi dokter tetapi kenyataan lain. Saat berumur 18 tahun, ayahnya, Amin Tanoto, harus masuk rumah sakit karena stroke. Sulung dari tujuh bersaudara harus mengambil usaha sang ayah. Ia keliling untuk berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil. Sebuah bisnis yang tak asing, dan memang dilakukan selepas sekolah. Dari situlah, Sukanto belajar menganai bisnis melalui usaha ayahnya. Dia belajar menganai tekat untuk tidak menyerah dalam berbisnis.

Pandai melihat peluang juga merupakan kelebihannya. Di tahun 1972, waktu itu impor kayu lapis hilang di pasaran Singapura. Ia mendirikan sebuah perusahaan kayu, CV. Kayu Pelita, yang saat itu fokus di Medan. Sebuah pilihan yang tepat, perusahaan tersebut mampu di saat orang lain belum membuat kayu lapis; dia membuat kayu lapis. Perusahaan tersebut kemudian berubah persero yang kemudian kita kenal, PT. Raja Garuda Mas (RGM). Kayu lapis merek Polyplex dari Raja Garuda Mas kemudian dikirim ke berbagai negara termasuk Singapura, bahkan ke Eropa, Inggris, dan Timur Tengah.

"Strategy competition saya itu satu dua step sebelum orang mengerjakan," ucapnya, ketika ia memulai membangun bisnis kelapa sawitnya. Kala itu, Sutanto Tanoto menjadi orang pertama dengan perkebunan sendiri di bawah bendera Asian Agri. Dia menjadi orang Indonesia pertama ketika asing bekuasa atas tanah sawit. "Setalah itu baru kita bikin Indorayon," tuturnya.

PT. Indorayon Utama dibangun di sebuah desa Sosor Ladang Kecamatan Porsea, Danau Toba, Sumatra Utara. Pabriknya, awalnya, mengalami bentrokan dengan penduduk setempat. Mereka merasa Indorayon mencemari lingkungan, menyerobot tanah, hingga deforsetasi (pembukaan lahat hutan). Sejak awal pabrik plup tersebut memang bermasalah dengan pengolahan limbah, hingga banyak tuntutan dari masyarakat dan mahasiswa. Kedekatan Sutanto Tanoto dengan Suharto kala itu, mampu membuat semua kegiatan Indorayon berjalan. Indrayon Utama resmi ditutup dimasa kepemimpinan Abrurahman Wahid, semua atas desakan aktifis lingkungan dan mahasiswa atas pencemaran lingkungan.

Tapi, Sukanto belajar dari Indorayon dan dipraktekan di Riau. Ia mendirikan perusahaan plup lain dengan nama  PT. Riau Plup. Di sini, dia membangun pabrik terbasar di dunia dengan sistem yang lebih modern. Ia juga mendayagunakan masyarakat sekitar. "Saya tidak kasih ikan, tetapi saya ajari mancing, itu yang kita kerjakan," ujarnya. Riau Plup bersama dengan masyarakat dan lembaga swadaya, melakukan usaha berbasi komunitas. Mereka mengajarkan penggemukan sapi, perbaikan jalan, dan pertanian.

Di tahun 2004, malalui APRIL, perusahaan yang merupakan kumpulan group dari beberapa perusahaan besar. Perusahaan ini terdiri dari PT. Riau Andalan Plup dan Paper, PT. Riau Andalan Kertas, dan PT. Riau Prima Energi. Perusahaan memiliki kapasitas 20 juta ton pertahun, dan kertas sebesar 400 ribu ton pertahun. Hingga 2004, APRIL atau Asian Pacific Resources International Holdings, memiliki pendapatan US$1, 33 miliar. Paper One, salah satu produksinya menjadi pilihan di 51 negara bisnis.    

0 comments:

Post a Comment